Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Konsep Implementasi

Implementasi sebagai suatu konsep, dijelaskan oleh Lane (1995) dalam Firmansyah (2003) bahwa secara formal pengertian dari implementasi dapat dibagi dalam dua bagian yaitu 

  1. Implementation = F (intention, output, and outcome), artinya implementasi merupakan suatu fungsi yang terdiri atas maksud dan tujuan, hasil sebagai suatu produk, dan hasil dari suatu akibat; 
  2. Implementation = F (policy, formator, implementor, initiator, and time).




Dari kedua fungsi ini penekanan utamanya adalah kepada kebijakan itu sendiri dan kemudian hasil yang dicapai oleh implementor sebagai suatu kebijakan yang senantiasa dikaitkan dengan kurun waktu tertentu. Pengertian implementasi juga dikemukakan oleh Anderson dalam Sungkono (1994), yaitu upaya mewujudkan pilihan dan keputusan untuk menjadi kenyataan.
Sedang Conyers (1984) mengemukakan implementasi adalah keseluruhan proses dari tujuan, dan menunjuk pada hasil suatu rencana yang senyatanya.

Selanjutnya makna dari implementasi, Mazmanian dan Sabatier (1979) dalam Wahab (2002) menjelaskan bahwa memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan, yaitu kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijakan negara yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat.
Kondisi yang diperlukan untuk keberhasilan implementasi suatu kebijakan menurut Mazmanian dan Sabatier (1981) dalam Patton (1985) mencakup :

  1. Perundang-undangan atau peraturan legal lainnya yang mengamanatkan kebijakan yang jelas dan konsisten,
  2. Teori yang mengaitkan sasaran kebijakan dengan perilaku kelompok target,
  3. Proses implementasi yang disusun untuk memaksimalkan kemungkinan staf yang melakukan implementasi dan kelompok target akan mematuhi arahan yang ada,
  4. Komitmen terhadap tujuan dan kepercayaan diri staf pengelola dan keterampilan politis,
  5. Dukungan aktif oleh kelompok konstituen dan legislator kunci, dan
  6. Tidak ada kebijakan baru atau perubahan kondisi sosial ekonomi yang merusak kebijakan yang ada.


Dalam buku Patton yang sama Mazmanian dan Sabatier (1979) mengatakan bahwa kendati kondisi tersebut tidak selalu dapat dicapai, beberapa langkah dapat diambil untuk meningkatkan kemungkinan keberhasilan, yang mencakup :

  1. Memadukan perkembangan teori teknis yang valid kedalam proses pembelajaran jika teori tersebut tidak terdapat sebelumnya,
  2. Menyusun peraturan untuk memperjelas kebijakan yang rancu,
  3. Memberikan intervensi ketika pelaku implementasi tidak mendukung,
  4. Memobilisasi dukungan dari organisasi ketika kebijakan tidak memiliki kelompok kepentingan yang aktif, dan
  5. Meyakinkan legislator untuk mendukung dan memonitor dari dekat proses implementasi ketika kegiatan itu belum diselesaikan.


Menurut Griendle (1980), keberhasilan implementasi rencana dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu :

  1. Content of policy yang terdiri dari : kepentingan yang dipengaruhi, jenis atau tipe manfaat, derajat atau perubahan yang diharapkan, letak mengambil keputusan, pelaksanaannya sendiri dan sumberdaya yang diperlukan ; 
  2. Context of Implementation, yang terdiri dari : kekuasaan, kepentingan, strategi aktor yang terlibat, karakteristik penguasa dan lembaga, serta kepatuhan dan daya tanggap. 


Sedangkan menurut Smith (1993), keberhasilan implementasi ditentukan oleh organisasi pelaksana, kelompok target (target group), kompleksitas dari rencana, faktor–faktor lingkungan serta saling keterkaitan faktor tersebut.

Sedangkan menurut Edward III (1980) dalam Firmansyah (2003), terdapat empat faktor atau variabel kritis dalam implementasi kebijakan publik, sebagai berikut :
a. Faktor Komunikasi
Komunikasi yaitu meliputi penyampaian informasi, kejelasan informasi dan konsistensinya.
Menurut Mc. Farland dalam Wuryanto (2002) komunikasi merupakan interaksi atau proses hubungan saling pengertian antar manusia. Faktor ini merupakan faktor yang dianggap penting, karena dalam setiap proses kegiatan yang melibatkan setiap unsur manusia dan sumberdaya akan selalu berurusan dengan permasalahan berupa bagaimana hubungan yang dilakukannya. Menurut Edward III hal yang penting dalam komunikasi adalah konsistensi dan kejelasan. Petunjuk-petunjuk pelaksanaan harus jelas dan dipahami serta harus konsisten, sehingga terhindar dari kebingungan antar pelaksana dan kesalahan penafsiran perintah.

b. Faktor Sumberdaya
Sumberdaya, dimana untuk efektifnya implementasi diperlukan sumberdaya yang cukup. Sumberdaya yang penting meliputi staf yang tersedia dalam jumlah dan keahlian yang memadai, informasi, kewenangan dan fasilitas yang mendukung.
Sumberdaya yang penting dalam proses implementasi adalah mencakup staf/tenaga kerja yang mempunyai keahlian dan kemampuan melaksanakan tugas, kelayakan antara jumlah staf yang dibutuhkan dan keahlian yang harus dimiliki. Disamping itu sumberdaya penting yang lain adalah dana untuk membiayai kegiatan operasional serta fasilitas lainnya yang memadai. Menurut Tangkilisan (2003), meskipun komunikasi telah dilakukan secara jelas, akurat dan konsisten, akan tetapi kekurangan sumberdaya yang diperlukan untuk menjalankan suatu kebijakan, maka implementasi tidak akan efektif. Jadi yang penting adalah adanya kecukupan sumberdaya yang diperlukan sebagai input pelaksanaan kegiatan.

c. Faktor Disposisi
Disposisi, yaitu sikap dan komitmen dari para pelaksana program (birokrat), dimana mereka harus memiliki keinginan untuk melaksanakannya.
Merupakan sikap dan komitmen dari para pelaksana, yang diartikan sebagai kecenderungan, keinginan, atau kesepakatan para pelaksana untuk melaksanakan kebijakan/program. Sikap yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan suatu kebijakan/program adalah semangat, kemauan serta keinginan yang kuat untuk menyukseskan program tersebut, yang berhubungan kesepakatan-kesepakatan terhadap kebijakan/program yang akan akan dilaksanakan.

d. Faktor Struktur Birokrasi
Struktur birokrasi, yaitu standar operasional yang mengatur tata kerja dan tata laksana.
Dalam keberhasilan implementasi suatu kebijakan/program perlu adanya birokrasi yang kuat, sehingga terhindar dari keadaan yang terombang-ambing akibat perubahan politik, kebijakan maupun peraturan perundang-undangan. Implementasi suatu kebijakan/program melibatkan banyak pihak, oleh karena itu diperlukan koordinasi yang baik, sehingga untuk kelancarannya perlu persamaan pandangan, kesepakatan antar unit-unit birokrasi untuk menyeragamkan tindakan di lapangan.


Daftar Pustaka:
Conyers, D. 1984. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga,Suatu Pengantar. Gadjah Mada University Press, Yogyaakrta.
Firmansyah, 2003. “Implementasi Kebijakan Penataan Ruang Sebagai Suatu Lingkup Kebijakan Publik”, Makalah pada Seminar dan Kongres Nasional II Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia. Program Studi Teknik Planologi Fakultas Teknik Universitas Pakuan, Bogor.
Grindle, M.S. 1980. Politics and Policy Implementation in the Third World, Princeton N.J., Princeton University Press.
Patton, M.Q. 1985. “Policy Analysis with Implementation in Mind” dalam Barry Checkoway, Strategic Perspective on Planning Pratice. Hal. 105-121.
Smith, Marc T. 1993. Growth Management-the Planning Challenge of the 1990s. Sage Publications, London.
Subhan (2005), Efektivitas Pelaksanaan Kegiatan Program Pengembangan Prasarana Perdesaan (P2D) Dengan Pola Kerjasama Operasional (KSO) Kasus Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan, Tesis-S2 UGM Tahun 2004
Sungkono, B. 1994. Hukum dan Kebijakan Publik. Sinar Grafika, Jakarta.
Tangkilisan, Hesel N., 2003. Implementasi Kebijakan Publik, Transformasi Pikiran George Edwards, Kerjasama Lukman Offset dan Yayasan Pembaharuan Administrasi Publik, Yogyakarta.
Wahab, S.A. 2002. Analisis Kebijaksanaan dan Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Bumi Aksara, Jakarta.
Wuryanto, Ig. 2002. Dasar-Dasar Ilmu Organisasi. Andi, Yogyakarta.

Post a Comment for "Konsep Implementasi"