Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Best Practices - Tanggap Bencana ala Jepang

OLEH ARIF ARHAM, anggota Asosiasi Fulbright Aceh, melaporkan dari Tokyo

Ketika berada kembali di Tokyo saat ini, saya terkenang pada situasi tiga bulan setelah gempa bumi dan tsunami melanda Jepang pada tahun 2011. Saat itu saya ikut kegiatan sukarelawan yang dimotori oleh Asean. Selain dari Indonesia, puluhan pemuda dari negara-negara di kawasan Asia Tenggara itu pun ikut meramaikan kunjungan sosial tersebut.

Namun, ada yang mengejutkan saya ketika sampai di Miyagi, salah satu provinsi yang terkena bencana. Saya melihat proses pembersihan daerah yang terkena dampak bencana belum selesai. Bagi saya, untuk ukuran Jepang, proses itu sangatlah lambat.



Kami masih melihat kondisinya mirip seperti kawasan Punge di Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh, saat bencana 2004 lalu. Sampah-sampah tsunami masih ada dan mengeluarkan bau khas persis seperti di Aceh. Saya heran, bukankah menurut cerita, orang Jepang itu hebat dan sangat tangkas dalam menangani bencana? Tapi kenyataan yang temukan malah berkata sebaliknya.

Belum usai keheranan saya, pemandu dari Jepang menjelaskan bahwa proses yang lambat ini disebabkan oleh pemilahan benda metalik dan nonmetalik yang membutuhkan ketelitian dan waktu. Jepang berkomitmen menjaga lingkungan hidup bahkan sejak tahap tanggap darurat dan rehabilitasi dimulai.

Barulah saya paham bahwa ternyata semangat untuk menjaga lingkungan hidup tetap diutamakan dibandingkan hanya menunjukkan kepada media massa bahwa daerah bencana telah dibersihkan. Lagi pula, pekerjaan lain, seperti pemindahan penduduk ke daerah yang aman, juga terus dilakukan.

Selain mengunjungi lokasi gempa dan tsunami, para relawan juga melakukan pembersihan lumpur di salah satu gedung di Kota Ishinomaki dan menghibur penduduk setempat dengan kegiatan memasak dan menari/menyanyi. Lagi-lagi saya terkesima.

Kunjungan kami yang notabene dari negara-negara yang sedang berkembang ini sangat berarti bagi warga di sana. Padahal, mereka punya segalanya untuk membersihkan dan membangun kembali daerah yang terkena dampak bencana alam itu. Saya kira, Asean membantu atau tidak, tidak akan ada pengaruhnya bagi Jepang.

Bukankah bencana alam sudah biasa bagi mereka? Tapi, saya melihat wajah-wajah penduduk setempat yang ramah dan terharu melihat kedatangan kami. Mereka sangat senang dan bahagia. Mereka mengucapkan terima kasih berulang-ulang sambil membungkuk. Mata mereka berkaca-kaca. Tulus.

Keteguhan masyarakat Jepang juga tersirat dalam media massanya. Sebagai contoh, televisi publik Jepang. NHK. Ketika berbicara bencana, televisi ini menayangkan acara-acara dokumenter yang tidak cengeng. “Future” dan “Forward” adalah sebagian acara-acara NHK itu. Isinya dokumenter, wawancara, sejarah, dan penanganan terkini dari bencana 11 Maret 2011. Musik latarnya biasa saja. Kekuatannya justru pada ekspresi orang-orang di dalamnya yang menahan sedih, namun penuh harap akan perbaikan nasib di masa depan. Di saat yang sama, penonton terenyuh dan sekaligus bersemangat! Mungkin, bagi NHK, “in an emergency, a good news is a good news”.

Jepang sebagai negara dan sebagai bagian dari kebudayaan besar dunia memberi pelajaran penting dalam hal menghadapi masa-masa sulit. Walaupun segala ilmu pengetahuan dan teknologi kebencanaan telah dikuasai, namun kebutuhan ikatan sesama manusia (human bond) tak dapat tergantikan.

Saya menemukan bahwa di balik kecerdasan, kesantunan, dan kekuatan dalam dirinya, orang Jepang juga memiliki rasa berterima kasih yang tinggi. Kita harus belajar dari Jepang, tetapi bukan hanya teknologinya, melainkan juga semangat pantang menyerah, tekun, kreatif, melakukan yang terbaik, disiplin, ramah, bersahabat, dan yang lebih penting pandai berterima kasih.



Sumber: http://aceh.tribunnews.com

Post a Comment for "Best Practices - Tanggap Bencana ala Jepang"