Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Best Practices - Belajar dari Singapura


Oleh Hilmi Hasballah, Staf Humas dan Protokol Setdakab Aceh Besar.

Banyak pelajaran penting yang didapat bila berkunjung ke Singapura. Sejak 27 Juni hingga 4 Juli 2012 lalu, saya bersama sejumlah guru yang bertugas di Aceh Besar mengunjungi negara tetangga tersebut. Tujuan keberangkatan kami bersama rombongan yang berjumlah 30 orang adalah untuk berobat di RS Lam Wah EE di Penang, Malaysia. Usai berobat, kami pun sepakat jalan-jalan ke Thailand dan Singapura.

Kami tiba di Singapura, Minggu (1/7) pagi. Warga yang mendiami negara pulau yang terletak di ujung Selat Malaka dan merupakan kota pelabuhan strategis yang berbatasan langsung dengan Indonesia dan Malaysia itu, terdiri dari etnis Cina (76.7%), Melayu (14%), India (7,9%), lain-lain (1,45%). Mata uangnya adalah dollar Singapura.

Di Singapura, kami dipandu oleh Yuli, seorang muslimah warga negara setempat. Sepanjang perjalanan mengelilingi negara yang berpenduduk sekitar 5,1 juta jiwa itu, pemandu wisata menerangkan sejarah dan tata aturan agar setiap pelancong tak dikenai sanksi akibat melakukan pelanggaran. “Tolong bantu negara kami untuk sama-sama menjaga kebersihan dan kedisiplinan, karena di sini akan dikenakan sanksi tegas bagi siapa saja yang melanggar aturan,” ungkap pemandu wisata tersebut.



Kemana pun mata memandang, yang tampak hanyalah gedung-gedung mewah yang dilengkapi air mancur dan lampu-lampu indah di malam hari. Suasana tertib dan patuh terlihat di mana-mana. Pemandu wisata juga menjelaskan, di Singapura tak ada pengemis. Warga negara yang agak kurang sejahtera, diberikan bantuan perumahan oleh pemerintah.

Mendengar penjelasan Yuli, saya langsung teringat pada sebuah berita tentang kehidupan warga negara Singapura yang sempat saya baca sebelumnya. Dalam berita itu, PM Singapura Lee Hsien Loong menjelaskan mengenai kondisi masyarakat miskin di negerinya. “Pemerintah Singapura telah memastikan kesejahteraan masyarakatnya, baik dari segi ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Hidup Anda tidak dimulai dari nol,” kata Loong.

Sebanyak 80 persen penduduk Singapura menghuni perumahan rakyat yang dibangun pemerintah. Pemerintah Singapura berhasil menekan laju kemiskinan di titik terendah. Selain itu, bantuan juga tersedia dalam bentuk pelayanan sosial, baik bagi individu maupun keluarga miskin yang rentan terhadap penyakit. Mereka yang membutuhkan dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh bantuan kesehatan.

Selama 10 jam berada di Singapura, kami juga diberi kesempatan sekitar 30 menit berkunjung ke depan Hotel Fullerton. Di lokasi ini berdiri patung Merlion yang menjadi ikon Singapura. Kepala singa patung Merlion melambangkan singa yang dilihat oleh Pangeran Sang Nila Utama ketika menemukan daratan Singapura pada tahun 11 Masehi. Sedangkan ekornya melambangkan kota kuno Temasek, yaitu nama negara ini sebelum sang pangeran menggantinya menjadi Singapura.

Kedisiplinan dan komitmen menjaga kebersihan yang terlihat dari seluruh warga Singapura, agaknya, harus kita contoh bersama. Untuk memantau gerak-gerak warga negara dan pelancong, banyak sekali CCTV terpasang di berbagai sudut kota Singapura.

Beberapa anggota rombongan yang telah “puasa” merokok selama berada di Singapura, baru merasa lega tatkala menjelang sore rombongan kami kembali bergerak menuju Kuala Lumpur. Lebih puas lagi, karena selama berada di Singapura, Alhamdulillah anggota rombongan telah menerapkan hidup bersih, tak buang sampah dan merokok di sembarang tempat, dan tak ada yang terkena denda serta melanggar aturan.



Sumber: http://aceh.tribunnews.com

1 comment for "Best Practices - Belajar dari Singapura"

HKMKBS-YK March 4, 2014 at 4:49 PM Delete Comment
Kita harus menerapkan ilmu yang baik ini, jika indonesia ingin menjadi MARCUSUAR DUNIA(Soekarno)...!!!

Salam kenal...
:)