Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Konsep Pelayanan Angkutan Kota

Sektor transportasi angkutan kota sebagai sarana dalam kehidupan masyarakat harus dapat mengembangkan diri sesuai dengan peranannya dalam menunjang perkembangan kota. Hal ini dituntut karena sektor transportasi angkutan kota harus dapat mengikuti perkembangan dari faktor-faktor yang langsung maupun tidak langsung mempengaruhi terlaksanannya kegiatan transportasi.

A. Defenisi Angkutan Kota
Angkutan kota, menurut Setijowarno dan Frazila (2001: 211), adalah angkutan dari suatu tempat ke tempat lain dalam wilayah suatu kota dengan menggunakan mobil bis umum dan/atau mobil penumpang umum yang terikat pada trayek tetap dan teratur. Dapat juga angkutan kota berupa angkutan massal atau mass rapid transit yang dapat mengangkut penumpang dalam jumlah banyak dalam satu kali perjalanan.

Mobil penumpang umum (MPU) adalah setiap kendaraan umum yang dilengkapi sebanyak-banyaknya delapan tempat duduk, tidak termasuk tempat duduk pengemudi, baik dengan maupun tanpa perlengkapan pengangkutan bagasi. Sedangkan Mobil bis umum adalah setiap kendaraan umum yang dilengkapi lebih dari 8 (delapan) tempat duduk tidak termasuk tempat duduk pengemudi, baik dengan maupun tanpa perlengkapan pengangkutan bagasi (Kepmen Perhubungan No. 68 Tahun 1993)



Mobil bis umum dan mobil penumpang umum mempunyai pola pelayanan yang berbeda dan kedua-duanya dapat berfungsi secara bersama-sama di sebuah kota. Selain itu juga masing-masing mempunyai karakteristik dalam hal jumlah penumpang dan barang yang diangkut, kecepatan, ongkos operasi dan pemeliharaan, harga, tarif, penggunaan ruang jalan, keselamatan, dan pengaruh terhadap lingkungan (Ttjahyati, 1993: 83-84).

B. Tujuan dan Peranan Angkutan Kota
Tujuan utama keberadaan angkutan kota adalah menyelanggarakan pelayanan angkutan yang baik (aman, cepat, murah, dan nyaman) dan layak bagi masyarakat. Karena sifatnya yang massal, keberadaan angkutan kota selain mengandung arti pengurangan volume lalu lintas kendaraan pribadi, juga lebih murah karena biaya angkut dapat dibebankan kepada banyak penumpang. Karena sifat massal itu juga maka diperlukan adanya kesamaan diantara para penumpang berkenaan dengan asal dan tujuan (Warpani, 1990: 170 - 172).

C. Karakteristik dan Pola Aktifitas Angkutan Kota
Angkutan umum kota beroperasi menurut trayek kota yang sudah ditentukan. Berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan No 68 tahun 1993, trayek kota seluruhnya berada dalam suatu wilayah Kota.

Menurut Setijowarno dan Frazila (2001: 206), trayek pelayanan angkutan kota dipengaruhi oleh data perjalanan, penduduk dan penyebarannya, serta kondisi fisik daerah yang akan dilayani oleh angkutan kota.
Umumnya dalam suatu wilayah Kota terdapat beberapa buah trayek dimana masing-masing trayek mempunyai rute tersendiri yang harus dilewati oleh angkutan kota. Sistem jaringan rute di perkotaan biasanya terbagi menjadi dua kelompok (Setijowarno dan Frazila, 2001: 211), yaitu:

  1. Jaringan rute yang terbentuk secara evolusi yang pembentukannya dimulai oleh pihak-pihak pengelola secara sendiri-sendiri.
  2. Jaringan rute yang terbentuk secara menyeluruh, yang dilakukan oleh pengelola angkutan massal secara simultan dan bersama-sama.


Pada kelompok pertama, pembentukan jaringan rute tidak terkoordinasi karena sistem tumbuh secara parsial. Masing-masing lintasan rute terbentuk karena keinginan pengguna jasa (penumpang) ataupun karena keinginan pihak pengelola, sehingga keterkaitan antar rute menjadi lemah. Lintasan rute hanya terkonsentrasi pada koridor yang secara geometrik mempunyai kapasitas lalu lintas yang besar dan mempunyai potensi kebutuhan (demand) yang tinggi. Akibatnya tingkat aksesibilitas masyarakat terhadap angkutan kota sangatlah tidak merata, dimana ada beberapa daerah tertentu yang mudah untuk menggunakan angkutan kota, sementara dearah-daerah lain mengalami kesukaran. Secara keseluruhan sistem rute menjadi tidak efektif dan tidak efisien.

Pada kelompok kedua, jaringan rute yang terbentuk biasanya merupakan jaringan rute yang komprehensif dan integral yang dimungkinkan karena pembentukannya biasanya didahului dengan perencanaan yang matang dan komprehensif. Dalam jaringan rute seperti ini keterkaitan antar individual rute sangatlah kentara, sehingga penumpang dengan mudah dapat menggunakan sistem jaringan rute yang ada untuk kepentingan mobilitas mereka. Selain itu, pembentukan jaringan rute secara keseluruhan biasanya didasarkan pada kondisi tata guna lahan secara keseluruhan pula. Semua potensi pergerakan betul-betul diantisipasi sehingga tingkat aksesibilitas setiap daearah perkotaan cukup merata. Secara keseluruhan, sistem jaringan rute menjadi efektif dan efisien.

Sebagai angkutan umum, pelayanan angkutan kota dalam mengangkut penumpang dibagi dalam 3 (tiga) aktifitas operasional (Wells, 1975: 23), yaitu:


  1. Kolektor, dari wilayah permukiman yang tersebar luas dan/atau tempat kerja dan tempat perbelanjaan. Karakterisrtik operasinya sering berhenti untuk menaikturunkan penumpang, berpenetrasi ke kawasan perumahan.
  2. Line Haul, antara wilayah permukiman dan tempat kerja dan tempat perbelanjaan (dari kota ke kota). Karakteristik operasinya bergerak dengan kecepatan yang tinggi dan jarang berhenti. Karena melakukan perhentian di tengah-tengah operasi maka daya tarik dan efektifitas operasinya akan berkurang, meskipun tentu saja beberapa perhentian yang penting tetap dilakukan.
  3. Distribusi, ke tempat kerja dan tempat perbelanjaan dan/atau wilayah permukiman. Karakteristik operasinya melakukan perhentian tetapi tidak terlalu sering.


Operasi angkutan umum lainnya yang spesifik, dari rute tunggal ke sistem yang kompleks dapat meliputi satu atau keseluruhan dari tiga aktifitas tersebut. Ketiga aktifitas operasional tersebut diilustrasikan secara diagramatis pada gambar berikut:
Karakteristik dan Pola Aktivitas Angkutan Umum (Wells, 1975)


D. Kualitas Operasi Angkutan Umum
Faktor yang mempengaruhi kualitas operasi angkutan umum, antara lain:

  1. Load factor, yaitu perbandingan jumlah penumpang dengan kapasitas tempat duduk mobil penumpang. Misalnya load factor 50 %, ini berarti jumlah tempat duduk yang kosong adalah setengah dari kapasitas yang ditetapkan. Load factor cenderung tinggi pada jam-jam sibuk, apabila tidak diimbangi dengan peningkatan frekuensi pelayanan akan menimbulkan kelebihan muatan sehingga tingkat pelayanan menurun. Hal ini akan menimbulkan penurunan tingkat kepuasan penumpang dan terjadi perpindahan moda, persepsi negatif terhadap sistem, dan gangguan terhadap keamanan;
  2. Waktu tempuh rute, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk menempuh suatu rute secara utuh dari asal sampai ke akhir tujuan rute;
  3. Frekuensi pelayanan, yaitu jumlah perjalanan kendaraan dalam satuan waktu tertentu.
  4. Jumlah armada, yaitu jumlah kendaraan yang beroperasi pada satu rute.



Daftar Pustaka:
B. G. Hutchinson (1974) Principles of Urban Trandport System Planning. Washington D. C: Scripta Book Company.
Black, J.A., (1981) Urban Transport Planning: Theory and Practise. London: Cromm Helm.
Boris S. Pushkarev (1977) Public Transportation and Land Use Policy. Bloomington: Indiana University Press.
Bruton, M.J., (1985) Introduction to Transport Planning. Third Edition. London: Anchor Brendon Ltd.
Chapin, F. Stuart Jr., and (1979) Urban Land Use Planning, Third Edition. Chicago: University of Illinois Press.
Effendi dan Manning (1989) “Prinsip-prinsip Analisisi Data”. Dalam Masri Singarimbun dan Sofian Effendi. Metode Penelitian Survai. Edisis Revisi. Jakarta: LP3ES, hal. 263-298.
Hadi Sabari Yunus (2000) Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Idwan Santoso (1996). Perencanaan Prasarana Angkutan Umum. Pusat Studi Transportasi & Komunikasi, Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Levinson, Hebert S. (1982) Urban Transportasion. New York.
Morlok, Edward K. (1978) Pengantar Teknik dan Perencanaan Transportasi. Alih Bahasa Johan Kelanaputra Hainim. Editor Yani Sianipar. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Nazir, Mohamad (1988) Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Nobert Oppenheim (1975) Urban Travel Demand Modeling. John Wiley & Sons, Inc.
Peter R. Stopher, Arnim H. Meyburg (1975) Urban Transportation Modeling and Planning. Forth edition. D. C. Health and Company.
Perencanaan Transportasi (1996). Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat, Institut Teknologi Bandung. Bandung
Perencanaan Sistem Angkutan Umum (1997). Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat, Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Setjowarno, D. dan Frazila, R.B (2001) Pengantar Sistem Transportasi. Edisi pertama. Semarang: Penerbit Universitas Katolik Soegijapranata.
Tesis Susanto Adi Wibowo, Kajian Kinerja dan Pengembangan Rute Angkutan Umum Penumpang Dalam Kota di Kota Salatiga (Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang Tahun 2003)
Tamin, Ofyar Z. (2000) Perencanaan dan Permodelan Transportasi. Edisi ke-2. Bandung: Penerbit ITB.
Warpani, Suwarjoko (1990) Merencanakan Sistem Perangkutan. Bandung: Penerbit ITB.
Wells, GR (1975) Comprehensive Transport Planning. London: Charles Griffin & Comp. Ltd
Wright, PH (1989). Transportation Engineering Planning and Design. New York: John Wiley & Sons, Inc.


Post a Comment for "Konsep Pelayanan Angkutan Kota"