Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tata Ruang dan Bencana (Studi Kasus Provinsi Aceh)

Kita cukup tersentak dengan gempa yang melanda Aceh beberapa waktu yang lalu. Gempa yang berpusat di kawasan tengah Aceh itu telah menimbulkan korban jiwa dan kerugian harta benda yang tidak sedikit. Puluhan orang dilaporkan meninggal, ratusan cedera, dan ribuan lainnya berada dalam pengungsian.

Demikian pula, ribuan rumah penduduk, gedung sekolah, infrastruktur dan berbagai fasilitas umum lainnya ikut rusak. Hal ini menunjukkan bahwa bencana menimbulkan dampak yang signifikan terhadap daerah di kawasan bencana. Tidak hanya kerusakan fisik tetapi juga psikologis.


Satu hal yang juga cukup mengejutkan adalah potensi terjadinya gempa daratan di Aceh. Bila selama ini tsunami menjadi fokus perhatian dalam aspek kebencanaan, ternyata gempa daratan juga menyimpan potensi dengan daya rusak yang cukup tinggi. Suatu hal yang harus menjadi perhatian dalam aspek kebencanaan pada masa depan.

Bencana memang tidak dapat diprediksi secara akurat. Ia sering datang tiba-tiba tanpa ada tanda-tanda yang cukup jelas. Hal ini seringkali menjadi penyebab banyaknya korban yang jatuh dan kerugian materi yang tidak sedikit akibat bencana.

Dalam sebuah laporan gabungan yang dibuat oleh Bank Dunia dan PBB yang berjudul Natural Hazards, Unnatural Disasters: The Economics of Effective Prevention, dinyatakan bahwa kerugian global tahunan akibat bencana alam diperkirakan dapat mencapai 185 miliar dolar AS pada akhir abad ke-21. Jumlah yang tidak sedikit tentunya.

Kondisi ini tentu saja memprihatinkan, mengingat bila saja bencana dapat diantisipasi dengan baik lebih baik, maka kerugian yang ditimbulkan dapat direduksi hinggi ke titik yang paling minimum. Pelaksanaan reduksi dampak bencana tersebut dikenal dengan istilah disaster risk reduction (DRR) atau pengurangan risiko bencana (PRB).

Peran Tata Ruang dalam Meminimalisir Dampak Bencana
Memang bencana tidak dapat diduga. Tetapi dengan pengetahuan yang dimiliki manusia saat ini, para ahli dapat mengetahui wilayah mana saja yang berpotensi terkena atau mendapat dampak dari bencana. Wilayah-wilayah yang rentan bencana inilah yang kemudian perlu diatur penggunaannya. Di sinilah kemudian penataan ruang dapat menjalankan perannya dalam mengurangi atau mereduksi risiko bencana tersebut.

Dalam suatu wilayah yang memiliki risiko bencana misalnya, harus dilakukan pengaturan penggunaan ruang agar wilayah-wilayah yang memiliki kerentanan bencana dalam berbagai aspek (fisik, sosial, budaya, ekonomi, kelembagaan dan lain sebagainya) diatur sedemikian rupa agar dihindarkan dari bencana atau setidaknya dikurangi risiko terkena dampak bencana.

Struktur dan pola ruang suatu wilayah tersebut ditetapkan dengan mempertimbangkan tingkat kerentanan bencana dari wilayah tersebut. Misalnya, beberapa wilayah yang berpotensi terkena bencana dengan skala besar, tidak boleh dihuni secara permanen oleh masyarakat. Kalaupun dibolehkan, dibatasi masa keberadaan masyarakat di wilayah tersebut. Masyarakat bisa saja datang dan beraktivitas di wilayah tersebut namun tidak untuk bermukim di wilayah tersebut.

Bila wilayah tersebut memiliki potensi terkena bencana dengan skala medium atau kecil, dalam artian masih bisa ditangani dengan kemampuan ‘rekayasa’ manusia, maka masyarakat tetap boleh tinggal di wilayah yang berpotensi bencana tersebut selama terjamin bahwa ‘rekayasa’ tersebut dapat menjamin keamanan penghuninya dan segala fasilitas yang ada di wilayah tersebut.

Bila kita melihat fakta di Aceh saat ini, masih banyak wilayah yang berpotensi terkena bencana besar namun tetap ditinggali oleh masyarakat. Satu alasan yang menyebabkan masyarakat tetap tinggal di wilayah yang rentan bencana adalah cara pandang masyarakat yang melihat bencana sebagai takdir. Di samping juga alasan sosial ekonomi, di mana masyarakat enggan untuk meninggalkan tempat yang terkena atau berpotensi terkena bencana tersebut karena akan mengorbankan nilai sosial dan ekonomi dari harta benda yang telah dimiliki.

Padahal kita tahu bahwa faktor bahaya dari alam tidak dapat dicegah untuk terjadi. Hal yang dapat diakukan hanya menurunkan kerentanan wilayah tersebut dari bencana dengan ‘merekayasa’ ataupun menghindari wilayah yang berpotensi terkena bencana tersebut.

Akibatnya para perencana wilayah dan kota yang telah menyiapkan rencana tata ruang yang berbasis mitigasi bencana, atas nama participatory planning (pelibatan/partisipasi masyarakat dalam perencanaan) terjadi negosiasi dan tawar-menawar, yang pada akhirnya masyarakat tetap dapat kembali dan menempati lokasi yang telah atau berpotensi terkena/terdampak bencana. Inilah yang perlu direnungi kembali dalam manajemen pengelolaan bencana kita.

Pengelolaan bencana tidak cukup hanya dengan tata ruang berbasis mitigasi bencana yang bagus di atas kertas, pelatihan kesiapsiagaan bencana, sekadar penyiapan jalur evakuasi bencana sebagai pembenaran bahwa sistem peringatan dini (early warning system) telah disiapkan dan berjalan baik, bangunan tahan gempa, atau pun kearifan lokal untuk menghindari bencana saat bencana akan hadir, tetapi juga terkait edukasi kepada masyarakat tentang bencana. Di mana masyarakat diharapkan bersedia untuk tidak tinggal di kawasan bencana.

Tata Ruang Menjadi Landasan Pembangunan
Memang harus diakui hingga kini Aceh dan sebagian besar kabupaten/kota belum menyelesaikan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), namun rancangan yang telah ada setidaknya dapat menjadi landasan dalam menerapkan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan kebencanaan.

Di sisi yang lain juga masih terdapat tantangan terkait kualitas dari penataan ruang. Hal mana terkait dengan ketersedian dan kualitas data serta ketersedian sumber daya manusia di bidang penataan ruang di daerah.

Selain itu, bagaimana penataan ruang yang telah direncanakan tersebut diaplikasikan sesuai dengan yang telah direncanakan, mengingat penataan ruang tidak bisa dilepaskan dari aspek politis.

Bila hal-hal ini terus diperbaiki, serta penataan ruang yang telah ada digunakan dengan baik, maka bukan tidak mungkin korban dan kerugikan yang timbul akibat bencana dapat diminimalisasir sedemikian rupa. Semoga!



Sumber:
Asrizal Luthfi,
Mahasiswa S2 Double Degree Perencanaan Wilayah dan Kota pada Institut Teknologi Bandung (ITB).
http://aceh.tribunnews.com/2013/10/02/tata ruang dan bencana
Email: luthfi_asrizal@yahoo.com



Tulisan terkait kebencanaan lainnya, lihat "Perencanaan Tata Ruang Berbasis Kebencanaan di Indonesia".

Post a Comment for "Tata Ruang dan Bencana (Studi Kasus Provinsi Aceh)"