Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Best Practices - Belajar dari Sistem Pendidikan Tunisia


AMIR KHALIS, mahasiswa Program Doktor (S3) Universitas Zaitouna, Tunisia, melaporkan dari Tunis

DI Tunisia, jenjang pendidikan dibagi dalam tiga tingkatan utama. Pertama, ta’lim asasi (pendidikan dasar) yang dibagi lagi dalam dua tingkatan, yaitu ibtidaaiyyah dan idaadiyyah. Ibtidaaiyyah (permulaan), kalau di Indonesia dikenal dengan nama SD atau madrasah ibtidaiah (MI), yang masa belajarnya sama-sama enam tahun.

Di ibtidaaiyyah dari kelas 1 dan 2, hanya diajarkan pelajaran dasar: bahasa Arab, berhitung, tulis baca, puasa, cara shalat, dan Alquran.

Pada tahun ke-3 sekolah, ditambah dengan bahasa Prancis. Saat di kelas 4, 5, dan 6 ditambah lagi dengan ilmu bumi dasar dan biologi. Seluruh pelajaran di ibtidaiah diajarkan dalam bahasa Arab, kecuali bahasa Prancis.



Sedangkan idaadiyyah (persiapan) yang di Indonesia dikenal dengan SMU dan madrasah tsanawiah, belajarnya juga tiga tahun. Mata pelajarannya meliputi matematika, biologi, fisika, tarbiyah islamiah, ditambah bahasa Inggris, tapi sudah lebih tinggi levelnya. Beda lainnya, di tingkat ibtidaiah seluruh pelajaran diajarkan dengan bahasa Arab, kecuali bahasa Prancis. Sedangkan di idaadiyyah, seluruh pelajaran diajarkan dengan bahasa Prancis, kecuali bahasa Arab dan Inggris.

Kemudian, tingkatan kedua dinamai ta’lim tsanawi (pendidikan menengah atas), di Indonesia dinamai SMP atau madrasah tsanawiah. Yang berbeda, di Tunis, SMA itu belajarnya empat tahun, sedangkan di Indonesia tiga tahun. Kemudian, di akhir tahun pertama diadakan ujian. Berdasarkan hasil ujian ini, pada tahun ke-2, 3, dan 4, para siswa dibagi jurusan menurut keahliannya. Jurusan bukan atas pilihan si murid, tapi ditentukan dari hasil ujiannya di kelas 1. Di tsanawi, terbagi atas enam jurusan: riadhiyat (matematika), sains, ekonomi, ilaamiyyah (informatika), dan olah raga yang kesemuanya dikategorikan ke dalam jurusan umum. Sedangkan jurusan agama meliputi adab, termasuk di dalamnya filsafat, adab, syariah, bahasa Arab, dan ilmu sosial.

Pada akhir tahun ke-4, barulah diadakan ujian akhir. Indonesia menyebutnya Ujian Nasional (UN). Di Tunis namanya baccaleuriat dalam bahasa Prancis, tapi orang Tunis mengucapnya bacalori. Kalau lulus bacalori, siswa bisa langsung lanjut kuliah yang sesuai dengan jurusan masing-masing. Tak ada lagi ujian masuk perguruan tinggi. Tapi ia tak boleh ke universitas atau prodi lain yang berbeda dengan jurusan yang telah ditentukan ketika belajar di tsanawi.

Yang ketiga adalah ta’lim ‘ali (pendidikan tinggi). Ini berbeda aturannya antara satu universitas dengan yang lainnya. Ada universitas yang untuk S1-nya, perlu waktu belajar lima tahun. Tapi ada pula yang hanya tiga tahun, seperti Zaituna. Nah, di perguruan tinggi barulah dibedakan antara syariah dengan yang umum.

Yang juga menarik adalah jurusan sains (di Indonesia teknik -red) S1 belajarnya enam tahun. Kalau lulus, dapat gelar muhandis (insinyur). Hebatnya insinyur di Tunis, dapat gelar ganda. Mereka sudah dianggap menyelesaikan S2 (magister) dan langsung bisa lanjut ke program doktor. Tapi, tidak untuk semua jurusan, hanya untuk insinyur teknik sipil yang konsentrasinya di bangunan dan jalan.

Untuk menjaga mutu pendidikan, Pemerintah Tunisia membuat kebijakan dengan membentuk Wizarah Tarbiyah wa Takwin (Kementerian Pendidikan) dan Wizarah Ta’lim ‘Ali (Kementerian Pendidkan Tinggi). Jadi, di Tunis, seluruh SD/MI, idaadiyyah dan tsanawi, diatur oleh Kementerian Tarbiyah wa Takwin, dan tidak terlibat Kementerian Tinggi dan Kementerian Agama. Universitas baik agama dan umum seluruhnya di bawah kewenangan Kementerian Pendidikan Tinggi, tak dilibatkan Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama.

Yang juga menarik, untuk masuk perguruan tinggi, seleksi masuknya tanpa ujian. Pelamar hanya mengajukkan berkas.

Untuk menjaga mutu, mereka perketat sistem kelulusan. Di tingkat tsanawi (menengah atas), bila tidak lulus ujian bacalori (ujian akhir), siswa wajib ulang. Istilahnya tadaaruk. Bila juga tak lulus, maka harus duduk kembali di kelas 3. Diberi waktu tiga tahun, bila juga tak lulus, maka siswa tersebut tidak dibenarkan melanjutkan kuliah.

Demikian juga, di perguruan tinggi, di tahun terakhir kuliah diterapkan sistem yang sama untuk mengulang mata kuliah yang tak lulus. Bila juga tak lulus, maka si mahasiswa wajib duduk di semester akhir kembali. Diberi lagi waktu tiga kali.

Ujian Nasional di Tunis, dikenal naik kualitasnya, sehingga diakui Eropa. Maka, siswa yang lulus dari jurusan matematika dan sains, otomatis dapat diterima pada universitas di Eropa. Dari hasil sistem yang dibangun begitu rupa, warga Tunis yang tamat sekolah tsanawi, rata-rata bisa menguasai dua bahasa, Arab, Prancis, dan tak sedikit juga yang bisa bahasa Inggris, bahkan bahasa Spanyol. Itulah hebatnya pendidikan di negara yang baru merdeka tahun 1956 dari Prancis ini.


Sumber: http://aceh.tribunnews.com

Post a Comment for "Best Practices - Belajar dari Sistem Pendidikan Tunisia"